bird

animasi blog

bird 2

animasi blog

Senin, 21 Februari 2011

Arti 20 April (part 1)

Ada dua hal yang mengingatkan saya pada tanggal 20 April. Suka duka campur aduk menjadi satu dalam satu tanggal satu bulan, tapi tidak di tahun yang sama. Tulisan ini saya tujukan sebagai reminder atau sekedar untuk a walk to remember saja sama apa yang sudah terjadi dan terlewati pada masa itu.  

Pikiran saya pun melayang, “menikmati” setiap detik, menit dan jam yang berjalan kejar-kejaran menembus lorong waktu. Ingin rasanya menghela nafas sejenak sebelum saya benar-benar kembali ke masa itu. Terlalu berat, hati ini menolak untuk bercerita apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu. Dua kali helaan nafas belum jua cukup membuat saya siap untuk bercerita. Tapi tatapan mata Aquilla - bayi berumur 10 bulan besok lusa - seolah memberi saya kekuatan untuk mengingatnya kembali dan kembali terucap melalui bibir ini.

Yupz inilah kisah sedih yang unforgettable dan unpredictable.
Sore itu hari sabtu sepulang kerja, saya pulang kerumah orangtua disini (Subang). Saya tidak pulang sendiri, melainkan nebeng sama adiknya pacar. Namanya Dryan tapi dipanggil Anggi. Dia laki-laki sebaya dengan dengan adik perempuan saya -  mereka hanya selisih satu tahun. Anggi sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Dia anak yang baik. Kami sama-sama mempunyai hobi baca (novel dan komik) dan makan bakso. Kami seringkali menghabiskan waktu bersama, walau sekedar untuk belanja cemilan ke Alfamart, sewa komik dan novel di rental buku bahkan masak bareng. Dia juga yang waktu itu meminjam DVD Film AAC ke teman kuliahnya. Banyak kenangan yang kami ukir. Tak jarang jika pujaan hati tidak bisa mengantar jemput saya ke kantor, dia yang menggantikan tugas kakaknya. Itu semua dia lakukan semata karena dia sayang sama saya, saya pikir.

Sebenarnya tujuan saya pulang selain kangen sama keluarga dirumah juga karena saya berniat untuk melamar sebuah pekerjaan di sebuah pabrik (garmen) baru di belakang rumah orangtua pacar. Mereka kenal dengan orang dalam pabrik tersebut. Mereka merekomendasikan saya – calon mantunya untuk kerja disana. Mulia sekali bukan niat mereka?.

Hmm … Anggi pada saat itu kuliah di Poltek Pos di daerah Gegerkalong. Dia anak yang humble dan humoris. Tidak cukup sedikit kata untuk saya menceritakan sosoknya. Hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah kegemarannya meminum minuman kotak berjenis teh. Suaranya juga masih tersimpan apik di gendang telinga. Kalau menyanyi suaranya terdengar sedikit sengau.

Yea, that’s Anggi.
Kami pulang ke Subang malam hari, mengendarai motor. Motor bebek hijau – Kawasaki Blitz. Saya sengaja tidak mengendarai motor sendiri karena selain malas juga karena malam hari dan pacar tidak mengijinkan saya untuk mengendarai motor sendiri dalam perjalanan jauh Bandung – Subang. Mungkin dia khawatir sama saya seseorang yang dia cinta. Perjalanan yang kami tempuh malam itu selama kurang lebih dua jam. Kecepatan yang kami tempuh tidak sekencang Valentino Rossi dan atau pembalap-pembalap lainnya ketika melintasi lap. Terlebih memang motornya sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ngebut.

Semuanya berjalan seperti biasanya malam itu. Tidak ada yang aneh. Sepanjang jalan kami ngobrol banyak hal, bercanda untuk mengurangi rasa dingin dari serangan angin malam yang menusuk tulang. Pertengahan jalan rasa ngantuk mulai menyerang. Beberapa kali saya mencuri lelap dan terbangun ketika helm yang saya pakai terantuk helm Anggi. Setelah itu kami ngobrol lagi. Seperti itu terus menerus. Saya pun terbangun lagi dari kantuk karena motor yang kami tumpangi sedikit mengerem mendadak di daerah Dawuan -  Kalijati. Saya kaget!. Spontan saya bertanya “Ada apa Nggi?”. “Itu teh ada kucing hitam lewat tiba-tiba” jawabnya. “Mana?” saya celingukan mencari hewan bernama kucing. “Tuh kearah sana?” tunjuknya kearah kiri kami. Mungkin kucing itu juga kaget terus langsung lari, udah nggak kelihatan lagi disana. Kami pun melanjutkan lagi perjalanan. Kira-kira setengah jam-an kami sampai juga dirumah saya, sekitar jam sepuluh. Setelah minum segelas air yang disuguhkan oleh Mama dia pun pulang kerumahnya – rumah kekasih – rumah orangtua mereka.

Alhamdulillah Allah melindungi kami berdua dalam perjalanan. Kami selamat sampai rumah – rumah kami masing-masing tentunya. Saya pun senang berada disini, home sweet home – ditempat dimana saya dibesarkan. Begitu banyak memori yang sudah terekam disini. Biasanya kalau sudah ada disini, saya malas untuk pulang lagi ke Bandung. Hehehe. Disini saya bisa melepaskan rasa rindu pada Mama, Papa, adik, kucing saya – Ongki hehehe. Oia bicara tentang Ongki. Si jantan yang gemulai. Pemalas dan bersedia menyusui anak-anak kucing layaknya seorang betina. He’s funny dan menggemaskan anyway!.
Waktu berjalan begitu cepat sudah hari minggu lagi. Itu artinya saya sudah harus back to Bandung. Tinggal dikosan lagi. Makan seadanya. Belajar mandiri di kota rantau. Jadi kuli telepon di sebuah perusahaan konsultan telekomunikasi. Menggantungkan hidup sehari-hari dari UMR yang saya peroleh dari sana.

It’s April 20, 2008 and the story’s begin …
Hari itu, Minggu saya coba menghubungi Anggi lewat ponsel, menanyakan mau pulang jam berapa. Dia bilang “Nanti teh, siang-an ya. Anggi mau anter Mama dulu ke ondangan”. Saya mengiyakan, saya bilang “Jangan terlalu sore ya takut hujan”. Hari itu saya menyempatkan sowan kerumah kakek nenek. Udah lama nggak nengokin mereka. Mereka pasti sama kangennya sama saya. Jam dua saya coba kontek Anggi lagi, memastikan lagi mau pulang jam berapa. Seperti orang bingung antara pulang hari itu atau besok. Dia sempat menawarkan saya untuk pulang subuh-subuh besok harinya. Tapi saya tolak karena pasti bakal capek karena harus langsung kerja. Akhirnya dia yang mengalah, menuruti permintaan saya untuk pulang hari itu juga.

Sehabis Ashar dia menjemput saya kerumah. Saya lihat ekspresi wajahnya hari itu datar sekali. Pandangannya kosong. Merokok pun sepertinya tidak ada gairah. Aneh, tidak seperti biasanya. Setelah pamitan jam setengah lima kurang kami berangkat. Adik bungsu saya, yang biasanya setiap sore latihan bola di lapang kecamatan pulang dulu kerumah seolah ikut mengantarkan kepergian kami ke Bandung dengan do’a selamat.
Baru sampai gang depan rumah, Anggi bilang “Teh, kita mampir dulu ya kerumah Anggi sebentar”
“Emang kenapa? Ada yang ketinggalan?”
“Nggak apa-apa Cuma mau pamitan sama Mama. Tadi nggak sempat”
“Oh ya udah nggak apa-apa. Sekalian teteh juga mau pamitan sama Mama Papa”
Di pertigaan Kalijati Purwadadi kami belok kanan menuju rumahnya. Sesampainya disana saya pamitan. Masih ingat saya, Mamanya nanya “Mau bawa beras nggak?”
“Nggak usah mah”
“Iya nggak usah, besok juga Anggi pulang lagi kok” jawabnya

Sampai situ saya masih juga belum ‘ngeh dengan kode-kode alam. Tentang kucing hitam yang lewat dari arah kanan. Tentang dia yang ngajak pulang lagi kerumahnya untuk pamitan. Tentang kata-kata dia “Iya nggak usah, besok juga Anggi pulang lagi kok” (padahal kalau menurut logika hal itu nggak mungkin terjadi, coz besoknya dia ada ujian semester). Apa mungkin hati saya sudah buta?.

And it’s happened! Semuanya serba putih. Pandangan kabur. Dunia seolah terbalik, terguling-guling beberapa kali. Saat itu saya sadar, TUBUH SAYA TERHEMPAS CUKUP JAUH KE BAWAH, HINGGA AKHIRNYA TERDAMPAR DI SELA-SELA POHON TEH. YA KAMI BARU SAJA MENGALAMI SEBUAH KECELAKAAN MAUT!!!.

Cukup lama saya tertegun, mengumpulkan sisa-sisa nafas dan nyawa yang seperti hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Pertama-tama yang saya pikirkan dalam hati adalah “DIMANA SAYA?”. Melihat sekeliling, sejauh mata memandang hanya warna hijau dari pohon teh yang banyak tersebar disana. Astagfirullah Al’adzim …. Ya Allah … Meninggalkah saya??. Saya menangis. Mencoba bangkit. Posisi saya saat itu terduduk, dengan helm masih menempel di kepala. Ya Allah kenapa kaki saya tidak bisa digerakkan sama sekali?. Lemas. Sakit. Perlahan saya alihkan pandangan kearah bawah. Ya Allah betapa kagetnya saya karena kaki kanan saya posisinya bengkok. Kaos kaki dan sepatu yang saya kenakan pada hari itu sudah terlepas dari kaki saya. Entah terlempar kemana. Sungguh tidak dapat diungkapkan lagi dengan kata-kata. Celana jeans yang saya kenakan pun sudah terbanjiri oleh cairan merah – darah!. Jahitannya sobek. Sebisa-bisanya saya mengucap Istigfar menyebut nama Allah. Mohon ampun padaNya. Saat itu maut terasa begitu dekat hanya terpaut beberapa sentimeter saja.

Sekeras mungkin saya mencoba berteriak meminta tolong dan memanggil nama Anggi. Namun seperti ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan. Suara saya, saya rasakan begitu parau. Saya coba menggerakan tangan kanan saya. Perih. Rupanya jari tengah tangan kanan saya sobek dan lebam. Saya memaksakan diri beringsut – ngesot menuju tempat yang lebih luas dan bisa terlihat oleh orang-orang diatas sana. Alhamdulillah tidak lama kemudian, saya dengar dari arah atas ada yang berteriak “Oh itu istrinya. Dibawah!”. Seorang bapak-bapak menghampiri saya. “Aduh nenk” keluhnya. Mungkin dia kasihan melihat saya. Lagi-lagi saya menangis, antara menahan sakit dan karena ada yang menolong saya. Kalau tidak, mungkin saat ini saya sudah tidak bernyawa dan ditemukan mayatnya membusuk dikerubungi lalat. Naudzubillahi Mindzalik!.

“Pa bisa minta tolong lepasin helm saya?” pinta saya sama bapak yang tidak saya tahu namanya. Dengan sigap dia melepas helm saya dan memakaikannya pada kepalanya. “Tolong ambilkan hape saya pa disini”  lalu dia merogoh hape yang tersimpan di saku celana di sebelah kanan yang anehnya saat itu tidak ikut hancur. Utuh. Orang yang pertama saya hubungi adalah pacar. Kenapa bukan orangtua? Karena kebetulan saya dan pacar memakai kartu dari provider yang sama. Saat itu pulsa saya hanya cukup untuk menghubungi ke no provider yang sama. Entah dapat kekuatan dari mana saya bilang kalau saya kecelakaan. Dia panik. Seketika itu juga dia langsung meluncur ke TKP bersama kakaknya. Kemudian orang kedua yang saya hubungi adalah Mama. Tapi hanya cukup untuk SMS saat itu. Karena beda operator. Bisa dibayangkan dalam kondisi payah saya masih bisa melakukan itu semua. Subhanallah, itu sebuah Mukzijat dari Allah SWT.

Lalu saya teringat Anggi, bagaimana kondisinya. Dia tidak ada di dekat saya. Dimana dia?. Saya tanya mengenai kondisinya ke bapak-bapak yang menolong saya tadi. Dia bilang kalau kondisinya baik-baik saja dan ada diatas sana, sedang ditolong sama warga yang lain. Saya sempat berucap syukur. Tapi anehnya kenapa saya nggak denger suaranya. Kalau dia baik-baik saja seharusnya dia bisa teriak seperti saya minta tolong. Saya tanya lagi bapak penolong, belum sempat terjawab pertanyaan saya, hape saya bunyi, pacar saya menelpon. Saya meminta bapak penolong itu yang menjawabnya. Saya dengar bisik-bisik bapak penolong ke pacar kalau Anggi sudah meninggal. Ya Rabb!. Benarkah itu?. Tidak tahukah kalau yang dia beritahu itu adalah kakaknya Anggi. Para penolong mengira saya dan Anggi suami istri. Saya kembali shock mendengar itu. “Bapak bohong, kenapa bapak bilang sama pacar saya kalau Anggi udah meninggal?!” hardik saya

“Nggak nenk, dia baik-baik aja kok”
“Bohong!” saya menangis dan teriak-teriak.
Ada lima orang lagi yang turun buat nolong saya. Saya dengar dari mereka ada yang bilang sudah nelpon klinik terdekat dan polisi jalan cagak. Berhubung ambulan belum juga datang. Mereka sepakat untuk mengangkat saya keatas agar segera mendapat pertolongan. Mereka terpaksa membawa saya tanpa blankar. “Nenk harus cepet-cepet dibawa ke Rumah Sakit. Darahnya udah banyak keluar”.
“Tolong saya pa”
“Iya kita bakal tolong nenk, tapi nenk harus tahan ya sakitnya”
Mereka kompakan meluruskan kaki kanan saya yang bengkok. Saya menjerit!!! “Nggak mau, sakit pa!!!”
“Sabar ya nenk” ucap salah satu dari mereka
“Astagfirullah”

Cuacanya hari itu gerimis, jalanan tanah yang harus dilewati untuk menuju ke atas sedikit licin dan menanjak. Sungguh sakit bukan main kaki saya. Rasanya seperti mau putus!. Saya menjambak rambut salah seorang yang membantu menolong saya.

Saya dimasukkan kedalam mobil bapak-bapak yang menolong saya. Di jok belakang, sendiri. Seingat saya mobilnya, carry furtuna. Di dalam mobil saya kembali menangis, meraung kesakitan. Di jalan hape saya bunyi lagi, saya sudah tidak kuat lagi untuk menjawab telepon, saya biarkan orang yang menolong saya untuk menjawabnya. Kepala saya mulai pusing dan perut mual. Kulihat darah mulai membasahi tempat duduk saya. Ironisnya saya pun ikut membantu jadi navigator dalam perjalanan menuju RS PPN. Karena mereka (para penolong yang ada di mobil itu bukan warga asli Subang). Mereka hanya tahu RSU Ciereng. Tapi saya minta diantarkan ke RS PPN yang saya pikir lokasinya lebih dekat daripada RSU. Melalui telepon Papa dan Om saya yang polisi juga mengarahkan untuk menuju RS PPN.

Ya Rabb! Kaki saya semakin sakit saja. Sedikit saja kena hentakan, sakitnya bukan main. Di RS keluarga saya minus Mama sudah menunggu di teras UGD. Orang yang pertama saya lihat adalah Papa. Begitu saya sampai sana beliau langsung memeluk saya. Menangis!. Sesuatu hal yang jarang sekali dia lakukan, bahkan ketika ibunya meninggal dunia. Sesak rasanya hati ini melihatnya menangis. Bukan Cuma beliau yang menangis, keluarga saya pun yang lainnya yang saat itu ada disana ikut menangis. Papa memberi saya minuman manis, supaya saya sedikit tenang. “Pah, maafin teteh ya kalau selama ini banyak salah” bisik saya saat itu. “Udah teh nggak usah ngomong gitu”. Seolah malaikat maut semakin dekat langkahnya. Saya dengar Mama ada dirumah, pingsan. Kasian beliau pasti kaget mendengar saya kecelakaan. Saya semakin takut manakala akan memasuki ruang operasi. Tensi darah saya saat itu hanya 60. Subhanallah! Beruntung saya masih diberi kekuatan oleh Allah untuk bertahan hidup.

AC diruang operasi sangat dingin. Posisi saya tepat dibawah lampu-lampu besar yang berfungsi untuk menerangi para Dokter dan Perawat dalam melakukan sebuah operasi. Saya baru tahu ternyata disana full musik, sepanjang saya menunggu detik-detik menegangkan antara hidup dan mati, alunan lagu-lagu mellow terdengar dari penjuru ruangan. Mungkin tujuannya supaya Dokter, para perawat dan pasien yang berada diruangan tersebut rileks.

Sebuah kabel terhubung pada sebuah kotak pendeteksi denyut jantung. Alat tensi darah tergeletak di meja kecil disebelah kirinya. Mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Semuanya harus serba steril. Ketakutan menghantui saya, bagaimana jika operasinya gagal seperti yang sering saya lihat di film atau sinetron selama ini.  Setelah disuntik bius dalam hitungan tiga semuanya berubah menjadi gelap. Saya tidak ingat apa-apa lagi.

Believe it or not, kecelakaan itu membuat saya trauma. Padahal kejadiannya sudah sangat lama sekali. Kadang saya punya ketakutan sendiri kalau jalan hari minggu dan atau jalan tepat di tanggal 20. Jadi suka keinget-inget lagi.

Dulu setiap kali harus kontrol ke Dokter, saya ketakutan. Padahal saya ada di dalam mobil, bukan di bonceng pake sepeda motor. Tiap kali supirnya ngebut saya gigit jari, melawan rasa takut. Atau tiap kali ada kendaraan yang ngebut dari arah depan atau yang mendahului kendaraan yang kami tumpangi saya juga takut. Sangat menyiksa.

Alhamdulillah saya bersyukur banget proses yang saya lewati hingga saat ini. Awal kecelakaan saya benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa, harus istirahat total – tidak boleh banyak bergerak, karena takut pen nya geser. Jangankan duduk, untuk tidur dengan posisi miring pun nggak bisa. Kaki kanan saya kaku. Setelah beberapa bulan saya baru bisa duduk, tapi biasanya kalau terlalu lama duduk suka pusing kepalanya. Setelah duduk tahapan selanjutnya saya bisa bangun sendiri walaupun harus menopang pada kursi atau dibantu Mama. Lalu saya pun belajar jalan lagi kayak anak kecil yang baru belajar jalan. Dengan bantuan tongkat. Alhamdulillah lagi, seorang rekan kerja di Bandung dulu menyumbang sebuah tongkat yang berguna buat saya belajar jalan. Terimakasih pa Pengki, semoga kebaikanmu dibalas oleh Allah SWT. Amin.

Butuh waktu yang lama untuk saya belajar jalan pakai tongkat. Bukan hal yang mudah untuk melakukannya, karena kaki saya ini sudah kelamaan nggak digerakan jadi kalau dibawa jalan terasa berat. Untunglah orang-orang terdekatku selalu memberi support. Dan sekarang saya sudah bisa berjalan tanpa bantuan tongkat lagi, walaupun kondisi kaki saya tidak memungkinkan untuk kembali lagi seperti semula.

Ya itulah yang terjadi di hari Minggu sore menjelang Magrib, 20 April 2008. Naas. Kejadiannya di daerah atas, setelah Ciater SPA Resort, arah tanjakan emen. Kami menjadi korban tabrak lari dari seorang supir ugal yang bekerja di Sonic furniture di Subang. Kelalaiannya menyebabkan Anggi meninggal dunia. Kembali kepada Sang Pencipta. Tapi yang saya sesalkan sampai detik ini kenapa dia harus melarikan diri, tidak bertanggung jawab!.

Ada awal pasti ada akhir. Semua mahluk di dunia ini pasti berpulang padaNya. Kita hanya titipan semata. Hidup, mati, rejeki, jodoh, maut seseorang telah ditentukan olehNya. Kita hanya memerankan sebuah lakon di dunia yang fana ini.

Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun. Selamat jalan sayang. Semoga kelak kamu bisa menjemput kami semua ke dalam pintu SurgaNya. Amin.

Tidak ada komentar: